NAMA : DIANTY SIALLAGAN
NPM : E1I014026
PRODI : ILMU KELAUTAN
MATA KULIAH : BAHASA
INDONESIA
DOSEN : Drs. BAMBANG DJUNAIDI, M.Hum.
KONDISI
TERUMBU KARANG HIDUP di KEPULAUAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Terumbu
karang adalah sekumpulan hewan karang atau polip yang bersimbiosis dengan
sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae.
Terumbu karang terdiri dari dua kata yaitu terumbu dan karang. Terumbu adalah
endapan masif batu kapur terutama kalsium karbonat (CaCO3),
sedangkan karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum
coelenterata (hewan berongga) atau cnidaria
yang mampu mensekresi CaCO3. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem pantai yang khas di daerah tropis
dan mempunyai produktivitas primer serta keragaman biota yang tinggi.
Diperkirakan produktivitas primer di ekosistem terumbu karang mencapai
3000–5000 gC/m2/tahun (Nontji, 1993), sehingga menjadikannya sebagai
tempat spawning ground, feeding ground dan nursery ground bagi berbagai biota laut (Supriharyono, 2000). Luas
terumbu karang Indonesia diperkirakan berkisar 85.700 km2 atau
sekitar 14% dari total penutupan dunia. Namun demikian, sekitar 60–70% telah
mengalami kerusakan yang sangat serius dan hanya 5% saja yang masih dalam
kondisi baik (Birkeland,1997; Tomascik, et
al.,1997). Karang memerlukan kualitas perairan yang sangat bersih pada
ekosistem pesisir tempat ia berada dan akan kesulitan jika terjadi sebaliknya.
Salah satu aspek krusial dari kualitas air adalah konsentrasi nutrien di dalam
perairan. Nutrien adalah elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan semua makhluk
hidup dan bila mereka tidak tersedia dengan cukup, maka organisme tidak akan
mampu untuk tumbuh dengan baik. Terumbu karang adalah ekosistem yang memerlukan
nutrien lingkungan dengan konsetrasi rendah. Kondisi nutrien yang kaya di
perairan akan membahayakan karang karena kekuatan kompetisinya dalam
memanfaatkan ruang yang diperkirakan lebih lemah dibandingkan dengan
perkembangan makroalgae. Selain itu, peningkatan suhu bumi juga merupakan
ancaman yang cukup berbahaya bagi terumbu karang. Belakangan ini diperkirakan
hampir 25% dari kehidupan di ekosistem terumbu karang telah mati, antara lain
akibat dari peningkatan suhu yang mencapai sebesar 4οC (Anonim,
2012).
DAFTAR
RUJUKAN
Aulia,
Khairunisa N. 2012. Kondisi Perairan
Terumbu Karang Dengan Foraminifera Bentik sebagai
Bioindikator Berdasarkan Foram Index di Kepulauan Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. (Online), http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt42/jurnal/016_ KONDISI%20PERAIRAN%20TERUMBU%20KARANG%20DENGAN%20FORA MINIFERA%20BENTIK.pdf, diakses pada tanggal 19 Mei 2015, pukul 20:27
WIB).
Damayanti, Reina. 2012.
Pemetaan Terumbu Karang di Perairan
Pulau Tabuhan Kab. Banyuwangi
Menggunakan Citra Satelit Quickbird. (Online), (http://pertanian. trunojoyo.ac.id/semnas/wwp-content/uploads/pemetaan-terumbu-karang-di-perairan- pulau-tabuhan-kab.-banyuwangi-menggunakan-citra-satelit-quickbird.pdf,
diakses pada tanggal 19 Mei 2015, pukul
20:10 WIB).
Mulya, Miswar Budi. 2006. Kondisi Terumbu Karang Hidup Berdasarkan
Persen Tutupand di Pulau Karang
Provinsi Sumatera Utara Dan Hubungannya Dengan Kualitas Perairan. (Online), (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15489/1/kpm- jun2006-%20% 281%29.pdf, diakses
pada tanggal 19 Mei 2015, pukul 19:53 WIB).
Ruswahyuni dan Pujiono
Wahyu Purnomo. 2009. Analisis Terumbu
Karang. (Online), (http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/14_Ruswahyuni_rev.pdf,
diakses pada
tanggal 19 Mei 2015, pukul 20:01 WIB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar